Jumat, 01 April 2011

KEBIJAKAN KESEHATAN PERSPEKTIF ISLAM

A.    Pendahuluan
Kesehatan adalah unsur vital dan merupakan elemen konstitutif dalam proses kehidupan seseorang. Tanpa kesehatan, tidak mungkin bisa berlangsung aktivitas seperti biasa. Dalam kehidupan berbangsa, pembangunan kesehatan sesungguhnya bernilai sangat investatif. Nilai investasinya terletak pada tersedianya sumber daya yang senatiasa produktif. Namun, masih banyak orang menyepelekan hal ini. Negara, pada beberapa kasus, juga demikian.
Di Indonesia, tak bisa dipungkiri, trend pembangunan kesehatan bergulir mengikuti pola rezim penguasa. Pada zaman ketika penguasa negeri ini hanya memandang sebelah mata kepada pembangunan kesehatan, kualitas hidup dan derajat kesehatan rakyat kita juga sangat memprihatinkan. Sudut pandang yang teramat sempit memang, ditambah dengan kecenderungan untuk mendahulukan hal lain yang sesungguhnya masih bisa ditunda.
Dalam hal ini belum ada grand strategy yang terarah dalam peningkatan kualitas kesehatan individu dan masyarakat, yang dengan tegas tercermin dari minimnya pos anggaran kesehatan dalam APBN maupun APBD. Belum lagi jika kita ingin bertutur tentang program pengembangan kesehatan maritim yang semestinya menjadi keunggulan komparatif negeri kita yang wilayah perairannya dominan. Pelayanan kesehatan di tiap sentra pelayanan selalu jauh dari memuaskan. Minimnya Anggaran Negara yang diperuntukkan bagi sektor kesehatan, dapat dipandang sebagai rendahnya apresiasi akan pentingnya bidang ini sebagai elemen penyangga, yang bila terabaikan akan menimbulkan rangkaian problem baru yang justru akan menyerap keuangan negara lebih besar lagi.
Sangat kontras bila dibandingkan dengan pola kebijakan kesehatan pemerintahan islam dengan perspektif islam pada zaman rasulullah. Rasulullah s.a.w. memberi perhatian pada masalah kesehatan. Segala sesuatu yang dilakukan Rasulullah s.a.w. ditujukan untuk mengerahkan sumberdaya demi kesehatan dan pengajaran. Dengan cara ini kaum muslimin cepat belajar sehingga para ahli kedokteran muslim memperoleh pengakuan yang berarti di bidang tersebut. Rasulullah saw. juga memperintahkan setiap muslim untuk mempelajari bisnis dan profesi yang ada, sehingga seni tenun, jahit, pandai besi, konstruksi, kerajianan kulit, penggalian dan pemanfaatan air tanah ditata menurut aturan Rasulullah s.a.w. yang melibatkan para seniman dan pengrajin (Sadr,1989).   Pembayaran gaji untuk guru, imam, muadzin diambilkan dari baitul maal (Sabzwari, 1984).
Sejarah menyatakan bahwa kebijakan di bidang kesehatan yang pernah dijalankan oleh pemerintahan Islam sejak masa Rasul saw. menunjukkan taraf yang sungguh maju. Mulai pelayanan kesehatan gratis diberikan oleh negara (Khilafah) yang dibiayai dari kas Baitul Mal, pelayanan kesehatan secara gratis, berkualitas yang diberikan kepada semua individu rakyat tanpa diskriminasi jelas merupakan prestasi yang mengagumkan[1]. Pada makalah kali ini akan membahas bagaiamana pola kebijakan kesehatan pemerintahan islam (perspektif islam) sejak masa Rasul yang sungguh maju sebagai bahan evaluasi dan pembelajaran bagi pola kebijakan yang ada saat ini.

B.     Kebijakan Kesehatan Perspektif Islam
Pembinaan pola baku sikap dan perilaku sehat baik secara fisik, mental maupun sosial, pada dasarnya sudah bagian dari pembinaan kepribadian Islam itu sendiri. Dalam hal ini, keimanan yang kuat dan ketakwaan menjadi keniscayaan. Dr. Ahmed Shawky Al-Fangary menyatakan bahwa syariah sangat concern pada kebersihan dan sanitasi seperti yang dibahas dalam hukum-hukum thaharah. Syariah juga memperhatikan pola makan sehat dan berimbang serta perilaku dan etika makan seperti perintah untuk memakan makanan halal dan thayyib (bergizi), larangan atas makanan berbahaya, perintah tidak berlebihan dalam makan, makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang, mengisi perut dengan 1/3 makanan, 1/3 air dan 1/3 udara, termasuk kaitannya dengan syariah puasa baik wajib maupun sunah. Syariah juga menganjurkan olah raga dan sikap hidup aktif. Selain itu,syari’ah juga sangat memperhatikan masalah kesehatan dan pola hidup sehat dalam masalah seksual. Jadi, menumbuhkan pola baku sikap dan perilaku sehat tidak lain adalah dengan membina kepribadian Islam dan ketakwaan masyarakat.
Sebagaimana dalam firman Allah SWT:
y7tRqè=t«ó¡o !#sŒ$tB ¨@Ïmé& öNçlm; ( ö@è% ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6ÍhŠ©Ü9$#   $tBur OçFôJ¯=tæ z`ÏiB ÇyÍ#uqpgø:$# tûüÎ7Ïk=s3ãB £`åktXqçHÍj>yèè? $®ÿÊE ãNä3yJ¯=tæ ª!$# ( (#qè=ä3sù !$®ÿÊE z`õ3|¡øBr& öNä3øn=tæ (#rãä.øŒ$#ur tLôœ$# «!$# Ïmøn=tã ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# ßìƒÎŽ|  É>$|¡Ïtø:$# ÇÍÈ
Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang Telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang Telah diajarkan Allah kepadamu[399]. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu[400], dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya)[401]. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.”(QS: Al-Maidah:4)
Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، آمِنًا فِي سِرْبِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
Siapa saja di antara kalian yang berada di pagi hari sehat badannya; aman jiwa, jalan dan rumahnya; dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah diberi dunia seisinya” (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrâd, Ibn Majah dan Tirmidzi).
Hadis tersebut menjelaskan bahwa dalam islam, kesehatan dan keamanan disejajarkan dengan kebutuhan pangan. Ini menunjukkan bahwa kesehatan dan keamanan statusnya sama sebagai kebutuhan dasar yang harus terpenuhi. Dan Negara bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar tersebut, sesuai dengan sabda Nabi saw.:
اْلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Sedangkan, bila kesehatan dan pengobatan tidak terpenuhi maka akan mendatangkan dharar (kemadaratan) bagi masyarakat yang wajib dihilangkan. 
Nabi bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارً
“Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri” (HR Malik).
Dengan demikian, kesehatan dan pengobatan merupakan kebutuhan dasar sekaligus hak rakyat dan menjadi kewajiban negara.
Dalam prakteknya pada masa kekhilafahan Islam kebijakan kesehatan yang gratis dan berkualitas ini sudah diterapkan semenjak masa kepemimpinan Rasulullah saw di Madinah. Bemula dari delapan orang Urainah datang ke Madinah dan bergabung menjadi warga negara khilafah. Lalu mereka menderita sakit gangguan limpa. Nabi saw Kemudian merintahkan mereka dirawat di tempat perawatan, yaitu kawasan penggembalaan ternak milik Baitul Mal di Dzi Jidr arah Quba’, tidak jauh dari unta-unta Baitul Mal (kas negara) yang digembalakan di sana. Mereka meminum susunya dan berada di tempat itu hingga sehat dan pulih.[2]
Ketika Raja Mesir, Muqauqis menghadiahkan seorang dokter kepada Nabi saw. Beliau menjadikan dokter tersebut untuk melayani seluruh kaum Muslim secara gratis. Khalifah Umar bin al-Khaththab, menetapkan pembiayaan bagi para penderita lepra di Syam dari Baitul Mal.  Sementara Khalifah al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M) dari Dinasti Umayyah membangun rumah sakit dikenal dengan nama ‘Bimaristan’ digunakan sebagai tempat pengobatan bagi penderita kebutaan dan tempat isolasi bagi para penderita lepra yang saat itu sedang merajalela.  Sedangkan Para dokter dan perawat digaji dari Baitul Mal.  Bani Thulan di Mesir membangun tempat dan lemari minuman yang di dalamnya disediakan obat-obatan dan berbagai minuman dengan ditunjuk dokter untuk melayani pengobatan. [3]
Will Durant dalam The Story of Civilization menyatakan, “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya.  Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis.  Para sejarahwan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.”   
Menurut Husain, rumah sakit Islam pertama yang sebenarnya, baru dibangun pada era kekuasaan Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M). Rumah sakit tersebut berada di Kota Baghdad, pusat pemerintahan kekhalifahan Islam saat itu. Rumah sakit ini dikepalai langsung oleh Al-Razi, seorang dokter Muslim terkemuka yang juga merupakan dokter pribadi khalifah. Konsep pembangunan rumah sakit di Baghdad itu merupakan ide dari Al-Razi. Dikisahkan, sebelum membangun rumah sakit, Al-Razi meletakkan potongan daging yang digantung di beberapa tempat di wilayah sekitar aliran Sungai Tigris. Setelah lama diletakkan, potongan daging itu baru membusuk. Menurut al-Razi, itu menandakan bahwa tempat tersebut layak didirikan rumah sakit.[4]
Rumah sakit lainnya di Kota Baghdad adalah Al-Audidi yang didirikan pada tahun 982 M. Nama tersebut diambil dari nama Khalifah Adud Ad-Daulah, seorang khalifah dari Dinasti Buwaihi. Al-Audidi merupakan rumah sakit dengan bangunan termegah dan terlengkap peralatannya pada masanya. Ibnu Djubair dalam catatan perjalanannya mengisahkan bahwa ia sempat mengunjungi Baghdad pada 1184 M. Ia melukiskan bangunan rumah sakit yang ada di Baghdad, seperti sebuah istana yang megah. Airnya dipasok dari Tigris dan semua perlengkapannya mirip istana raja. Manajemen perawatan yang tertata rapi menjadi ciri khas rumah sakit Al-Audidi. Para pasien juga dibedakan antara pasien inap dan rawat jalan. Namun, bangunan rumah sakit ini hancur bersamaan dengan invasi tentara Tartar (Mongol) pimpinan Hulagu Khan yang menyerbu Baghdad pada tahun 1258 M.[5]
Tak cuma Baghdad, di beberapa wilayah lainnya, ilmu kedokteran Islam juga terus mengalami perkembangan. Di Kota Al-Fustat (ibu kota Mesir lama), misalnya, dibangun sebuah rumah sakit pada tahun 872 M. Pendiriannya digagas oleh Ahmad Ibn Tulun, seorang gubernur Mesir pada masa Dinasti Abbasiyah. Dalam rumah sakit itu, terdapat perpustakaan yang kaya akan literatur medis. Pada 830 M, di Kota ad-Dimnah (wilayah Tunisia saat ini) sudah berdiri sebuah rumah sakit megah bernama Al-Qairawan. Rumah sakit ini bahkan sudah menerapkan sekat pemisah antara ruang tunggu pengunjung dan pasien. Bangunan rumah sakit lain pada masa kekhalifahan Islam bisa dijumpai di Kota Marrakech, Maroko. Khalifah Al-Manshur Ya’qub ibn Yusuf yang menggagas pendirian rumah sakit Marrakech.[6]
Pada tahun 1055 M, di wilayah kekuasaan Islam lainnya, Yerussalem, berdiri sebuah rumah sakit bernama As-Sahalani. Di bawah kekuasaan Shalahuddin Al-Ayyubi, rumah sakit ini mengalami perluasan dan pembenahan hingga akhirnya bangunan rumah sakit tersebut hancur ketika gempa bumi melanda wilayah Yerussalem pada 1458 M.[7]
Keberadaan rumah sakit pada masa kejayaan Islam juga ada di Kota Damaskus,rumah sakit Al-Nuri. Didirikan pada 1154. Nama Al-Nuri mengacu nama seorang panglima perang Muslim pertama yang berhasil mengalahkan tentara Salib, Nur al-Din al-Zangi. Rumah sakit Al-Nuri merupakan rumah sakit pertama yang sudah menerapkan sistem rekam medis. Konsep itu hingga kini digunakan rumah sakit yang ada di seluruh dunia. Sebuah terobosan awal yang sangat langka pada masa itu. Dalam perkembangannya, rumah sakit ini juga berperan sebagai sekolah kedokteran. Sederet ilmuwan ternama tercatat pernah menuntut ilmu di Al-Nuri. Salah satunya adalah Ibn an-Nafis (1208-1288 M) yang merupakan ilmuwan pertama yang secara akurat mendeskripsikan sistem peredaran darah dalam tubuh manusia. [8]
Di kota lainnya, Granada, juga berdiri bangunan rumah sakit Granada pada tahun 1366 M. Menurut Dr Hossam Arafa dalam tulisannya berjudul Hospital in Islamic History, pada akhir abad ke-13, rumah sakit sudah tersebar di seantero Jazirah Arabia.Semua itu didukung dengan tenaga medis yang profesional baik dokter, perawat dan apoteker.  Dan di sekitar rumah sakit didirikan sekolah kedokteran.  Rumah sakit yang ada juga menjadi tempat menempa mahasiswa kedokteran, pertukaran ilmu kedokteran, serta pusat pengembangan dunia kesehatan dan kedokteran secara keseluruhan. Dokter yang bertugas dan berpraktik adalah dokter yang telah memenuhi kualifikasi tertentu. Khalifah al-Muqtadi dari Bani Abbasiyah memerintahkan kepala dokter Istana, Sinan Ibn Tsabit, untuk menyeleksi 860 dokter yang ada di Baghdad. Dokter yang mendapat izin praktik di rumah sakit hanyalah mereka yang lolos seleksi yang ketat. Khalifah juga memerintahkan Abu Osman Said Ibnu Yaqub untuk melakukan seleksi serupa di wilayah Damaskus, Makkah dan Madinah. [9]
Dan pada masa Khilafah Abbasiyah untuk pertama kalinya ada apotik. Yang terbesar adalah apotik Ibnu al-Baithar. Saat itu, para apoteker tidak diijinkan menjalankan profesinya di apotik kecuali setelah mendapat lisensi dari negara. Para apoteker itu mendatangkan obat-obatan dari India dan dari negeri-negeri lainnya, lalu mereka melakukan berbagai inovasi dan penemuan untuk menemukan obat-obatan baru (M. Husain Abdullah, Dirâsât fî al-Fikri al-Islâmî, hlm. 89).
Kebijakan kesehatan Khilafah juga diarahkan bagi terciptanya lingkungan yang sehat dan kondusif. Tata kota dan perencanaan ruang akan dilaksanakan dengan senantiasa memperhatikan kesehatan, sanitasi, drainase, keasrian, dan sebagainya.[10] Hal itu sudah diisyaratkan dalam berbagai hadis, seperti dalam hadis:
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ, نَظِيفٌ يُحِبُّ النَّظَافَةَ, كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكَرَمَ, جَوَادٌ يُحِبُّ الْجُودَ, فَنَظِّفُوا بُيُوْتَكُمْ وَ أَفْنِيَتَكُمْ وَلاَ تَشَبَّهُوْا بِالْيَهُودِ 
Sesungguhnya Allah Mahaindah dan mencintai keindahan, Mahabersih dan mencintai kebersihan, Mahamulia dan mencintai kemuliaan. Karena itu, bersihkanlah rumah dan halaman kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi” (HR at-Tirmidzi dan Abu Ya’la).
اتَّقُوا الْمَلاَعِنَ الثَّلاَثَةَ الْبَرَازَ فِي الْمَوَارِدِ وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ وَالظِّلِّ

“Jauhilah tiga hal yang dilaknat, yaitu buang air dan kotoran di sumber/ saluran air, di pinggir atau tengah jalan dan di tempat berteduh”(HR.Abu Dawud).  
Rasul saw. juga bersabda: “Janganlah salah seorang dari kalian buang air di air yang tergenang.” (HR Ashhab Sab’ah).
Jabir berkata:“Rasulullah melarang buang air di air yang mengalir.” (HR Thabarani di al-Awsath).
Di samping itu juga terdapat larangan membangun rumah yang menghalangi lubang masuk udara rumah tetangga, larangan membuang sesuatu yang berbahaya ke jalan sekaligus perintah menghilangkannya meski hanya  berupa duri.[11]
Beberapa hadis ini dan yang lain jelas mengisyaratkan disyariatkannya pengelolaan sampah dan limbah yang baik, tata kelola drainasi dan sanitasi lingkungan yang memenuhi standar kesehatan, dan pengelolaan tata kota yang higienis, nyaman sekaligus asri. Tentu saja itu hanya bisa direalisasikan melalui negara, bukan hanya melibatkan departemen kesehatan, tetapi juga departemen-departemen lainnya. Tata kota, sistem drainase dan sanitasi kota kaum Muslim dulu seperti Baghdad, Samara, Kordoba, dsb telah memenuhi kriteria itu dan menjadi model bagi tata kota seperti London, kota-kota di Perancis dan kota-kota lain di Eropa.

C.    Kesimpulan
Pembangunan kesehatan yang meliputi keseimbangan aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative sudah ada dan diterapkan sejak masa pemerintahan islam yang teori dan prakteknya digunakan sampai saat ini.
Dalam Islam, sistem kesehatan tersusun dari 3 (tiga) unsur sistem (S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic Sciences, hlm. 148).. Yaitu:
1.      Peraturan, baik peraturan berupa syariah Islam, kebijakan maupun peraturan teknis administratif.
2.      Sarana dan peralatan fisik seperti rumah sakit, alat-alat medis dan sarana prasarana kesehatan lainnya.
3.      SDM (sumber daya manusia) sebagai pelaksana sistem kesehatan yang meliputi dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya.
Pelayanan kesehatan berkualitas hanya bisa direalisasikan jika didukung dengan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai serta sumber daya manusia yang profesional dan kompeten. Penyediaan semua itu menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara (Khilafah) karena negara (Khilafah) berkewajiban menjamin pemenuhan kebutuhan dasar berupa kesehatan dan pengobatan.
Khilafah wajib membangun berbagai rumah sakit, klinik, laboratorium medis, apotik, pusat dan lembaga litbang kesehatan, sekolah kedokteran, apoteker, perawat, bidan dan sekolah lainnya yang menghasilkan tenaga medis, serta berbagai sarana prasarana kesehatan dan pengobatan lainnya. Juga wajib mengadakan pabrik yang memproduksi peralatan medis dan obat-obatan; menyediakan SDM kesehatan baik dokter, apoteker, perawat, psikiater, penyuluh kesehatan dan lainnya.
Pelayanan kesehatan harus diberikan secara gratis (minimal semurah mungkin) kepada rakyat baik kaya atau miskin tanpa diskriminasi baik agama, suku, warna kulit dan sebagainya. Pembiayaan untuk semua itu diambil dari kas Baitul Mal, baik dari pos harta milik negara ataupun harta milik umum. Setiap pelayanan masyarakat dalam sistem Islam wajib memenuhi 3 (tiga) prinsip baku yang berlaku umum, yaitu:
1.      Sederhana dalam peraturan (tidak berbelit-belit).
2.      Cepat dalam pelayanan.
3.      Profesional dalam pelayanan, yakni dikerjakan oleh orang yang kompeten dan amanah.



DAFTAR PUSTAKA

Anonim, “Saatnya Khilafah Memimpin Dunia”, diakses pada tanggal 10
Anonim, “Kebijakan Kesehatan Perspektif Islam”, diakses pada tanggal 10
Anonim, “Rumah Sakit Zaman Keemasan Islam”, diakses pada tanggal 10
Asta Qauliyah, “Masalah Pembiayaan Kesehatan Di Indonesia”, diakses pada
Dukung syari’ah dan khilafah, “Kebijakan Kesehatan Perspektif Islam”,
diakses pada tanggal 10 November 2010, dari http://zhcn.facebook.com/note.php?note_id=226818404262&comments&ref=mf
Zulkifli Ibnu 'Aly, “Kebijakan Khilafah di Bidang Kesehatan”, diakses pada
tanggal 10 November 2010, dari http://bsba.facebook.com/topic.php?uid =94680409703 &topic=12161


[1] 'Aly ,Zulkifli Ibnu , “Kebijakan Khilafah di Bidang Kesehatan”, diakses pada tanggal 10 November 2010, dari http://bsba.facebook.com/topic.php?uid =94680409703 &topic=12161

[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Anonim, “Rumah Sakit Zaman Keemasan Islam”, diakses pada tanggal 10 November 2010, dari http://aristek-2004.blog.friendster.com/2010/02/ rumah-sakit-zaman-keemasan-islam/

[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] 'Aly ,Zulkifli Ibnu , “Kebijakan Khilafah di Bidang Kesehatan”, diakses pada tanggal 10 November 2010, dari http://bsba.facebook.com/topic.php?uid =94680409703 &topic=12161
[11] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar